Berwisata ke suatu tempat belumlah lengkap tanpa mencicipi makanan
khas daerah itu. Kadang-kadang sepiring hidangan dapat bercerita banyak
hal tentang kehidupan masyarakat setempat; mulai dari selera, budaya,
hingga semangat hidup mereka.
Melalui rangkaian liputan di bawah ini, kami mengajak anda
untuk bertamasya lidah sekaligus melihat dari dekat potret kehidupan
sehari-hari kawula Yogyakarta. Lokasi tempat makan yang kami
liput ini memang tak selalu mudah ditemukan. Namun hal itu malah akan
memberikan kepuasan tersendiri saat anda berhasil mencapainya, ditambah
lagi harganya yang murah tak terkira. Berwisata kuliner di Yogyakarta
akan membuat lidah anda bergoyang
ANGKRINGAN LIK MAN
Tahukah anda sebuah tempat di Yogyakarta tempat mahasiswa, komunitas cyber seperti blogger dan chatter,
wartawan, seniman, budayawan, tukang becak, hingga penjaja cinta bisa
berbincang santai? Jika anda pernah belajar di Yogyakarta, dimana anda
dulu berembug bersama teman tentang tema skripsi atau tugas sekolah? Di
antara sekian tempat yang anda sebutkan, pasti angkringan Lik Man yang
terletak di sebelah utara Stasiun Tugu menjadi salah satunya. Wajar,
sebab tempat itu telah menjadi favorit banyak orang.
YogYES mengajak anda untuk menikmati nuansa Angkringan
Lik Man yang pernah dirasakan oleh banyak orang. Anda bisa berjalan ke
utara dari arah Malioboro atau Stasiun Tugu hingga menemukan jalan kecil
ke arah barat, kemudian berbelok. Anda akan menemukan angkringan yang
dimaksud tak jauh dari belokan, tepatnya di sebelah kiri jalan. Cirinya,
ada dua buah bakul yang dihubungkan dengan bambu, anglo dengan arang
yang membara, serta deretan gelas yang ditata.
Angkringan Lik Man merupakan angkringan legendaris,
sebab pedagangnya adalah generasi awal pedagang angkringan di Yogyakarta
yang umumnya berasal dari Klaten. Lik Man yang bernama asli Siswo
Raharjo merupakan putra Mbah Pairo, pedagang angkringan pertama di
Yogyakarta yang berjualan sejak tahun 1950-an. Warung berkonsep
angkringan yang dulu disebut 'ting ting hik' diwariskan kepada Lik Man tahun 1969. Sejak itu, menjamurlah angkringan-angkringan lain.
Begitu sampai di angkringan yang buka pukul 18.00 ini,
anda bisa memesan bermacam minuman yang ditawarkan, panas maupun dingin.
Pilihan minuman favorit adalah Kopi Joss, kopi yang disajikan panas
dengan diberi arang. Kelebihan kopi itu adalah kadar kafeinnya yang
rendah karena dinetralisir oleh arang. Tak usah khawatir itu hanya
mitos, sebab Kopi Joss lahir dari penelitian mahasiwa Universitas Gadjah
Mada yang kebetulan sering nongkrong di Angkringan Lik Man.
Berbagai makanan juga disediakan, ada sego kucing
berlauk oseng tempe dan sambal teri hingga gorengan dan jadah (makanan
dari ketan yang dipadatkan berasa gurih) bakar. Sego kucing di
Angkringan Lik Man yang harganya Rp 1.000,00 tak kalah lezat dengan
masakan lainnya sebab nasinya pulen dan oseng tempe dan sambal terinya
berbumbu pas. Menikmati sego kucing yang selalu disajikan dalam keadaan
hangat dengan lauk gorengan atau sate telur selain lezat juga tak
menguras uang.
Jika menjumpai makanan dalam keadaan dingin, anda dapat
meminta penjual untuk menghangatkannya dengan cara dibakar. Lauk pauk
yang menjadi lebih lezat ketika dibakar adalah mendoan (tempe goreng
tepung), tahu susur, tempe bacem, endas (kepala ayam) dan tentu
saja jadah. Bila tak nyaman makan dengan bungkus nasi saja atau anda
makan dalam jumlah banyak, penjual angkringan menyediakan piring untuk
menyamankan acara makan anda.
Anda bisa memilih tempat duduk di dua tempat yang
disediakan. Jika ingin berbincang dengan pedagang, anda bisa duduk di
dekat bakul atau anglo. Selain dapat bercerita dengan Lik Man, duduk di
dekat bakul akan mempermudah jika ingin tambah makanan. Tetapi bila
ingin lebih berakraban dengan teman, anda bisa duduk di tikar yang
digelar memanjang di trotoar seberang jalan. Tak perlu khawatir ruang
yang tidak cukup sebab panjang trotoar yang digelari tikar hampir 100
meter.
Sambil duduk, anda diberi kebebasan untuk berbicara
apapun. Orang-orang yang sering datang ke angkringan ini membicarakan
berbagai hal, mulai tema-tema serius seperti rencana demostrasi dan tema
edisi di majalah mahasiswa hingga yang ringan seperti kemana hendak
liburan atau sekedar tertawaan tak jelas yang sering disebut dengan gojeg kere. Tak ada larangan formal, tetapi yang jelas perlu menjaga budaya angkringan, yaitu tepo sliro (toleransi), kemauan untuk berbagi dan biso rumongso (menjaga perasaan orang lain). Bisa diartikan tak perlu berebut tempat dan menghargai orang lain yang duduk berdekatan.
PECEL BAYWATCH
Semula saya sempat bingung dengan julukan Pecel Baywatch yang
disandang oleh pecel Mbah Warno. Terlintaslah imajinasi nakal tentang
sosok penjual pecel yang mengenakan bikini seperti Mbak Pamela
Anderson atau setidaknya warung ini berada di pinggir pantai. Ternyata
salah semua. Beginilah cerita lengkapnya.
Warung Mbah Warno terletak di daerah Kasongan, tepatnya
berada di jalan menuju Gunung Sempu. Warung yang sudah berdiri sejak 35
tahun lalu ini sangat sederhana. Papan nama warung pecel Mbah Warno ini
hanya berukuran 30 x 20 cm2 yang pasti terlewat jika tak
benar-benar memerhatikannya. Interior warung diisi oleh perabot yang
fungsional dan apa adanya. Hanya terdapat beberapa meja dan kursi kayu
serta satu dipan bambu. Di belakang meja tempat meletakkan dagangannya,
terdapat dapur berisikan beberapa anglo yang selalu mengepulkan
asap. Sebuah posisi yang tak disengaja sebenarnya, sebab dapur dalam
konsep Jawa biasanya terletak di bagian belakang. Mbah Warno meletakkan
dapur di bagian depan warung pasca gempa Mei 2006 yang meruntuhkan
bangunan rumahnya. "Belum punya uang untuk membangun dapur baru",
ujarnya.
Mbah Warno menjajakan menu utama pecel dengan beragam
lauk sebagai pengiringnya. Mulai dari lele dan belut goreng kering, tahu
bacem, mangut belut (belut bersantan yang dibumbui cabai), hingga bakmi
goreng. YogYES memesan semuanya agar dapat merasakan aneka rasa masakan
Mbah Warno ini.
Sambil menunggu, pikiran saya melayang menelusuri
asal-usul pecel yang sama tidak jelasnya dengan soto. Banyak daerah di
Jawa memiliki pecel dengan ciri khasnya masing-masing, misalnya Pecel
Madiun, Pecel Blitar, Pecel Madura, Pecel Slawi dan lain-lain. Namun
setidaknya, seorang sejarawan Belanda bernama H.J Graaf pernah
mengungkapkan bahwa ketika Ki Ageng Pemanahan melaksanakan titah Sultan
Hadiwijaya untuk hijrah ke hutan yang disebut Alas Mentaok (sekarang Kotagede), rombongan beliau disambut masyarakat di pinggir Sungai Opak dan dijamu dengan berbagai jenis masakan, termasuk pecel.
Lamunan saya terputus saat pecel dan beberapa makanan
pengiring tiba di meja. Seporsi pecel, lele goreng, dan tahu bacem
seolah menantang untuk secepatnya dinikmati. Terdapat empat jenis
sayuran dalam hidangan berlumur bumbu kacang ini yakni daun bayam, daun
pepaya, kembang turi (Sesbania grandiflora), dan kecambah /
taoge. Kita akan disergap rasa manis dari bumbu kacang yang menggelitik
lidah. Saat menguyah kembang turi yang agak getir, rasa manis tadi
berpadu sehingga menghasilkan kelezatan yang sulit diungkapkan.
Pecel dengan kembang turi merupakan ciri khas pecel "ndeso".
Jaman sekarang sudah sulit untuk menemukan penjual pecel seperti ini.
Konon kembang turi memiliki khasiat meringankan panas dalam dan sakit
kepala ringan. Jadi tidak heran bila orang Jawa, India, dan Suriname
(masih keturunan Jawa juga sih, hehehe) sering menyantap kembang turi muda sebagai sayuran.
Pecel akan bertambah nikmat jika ditambah dengan lele
goreng atau tahu bacem. Lele goreng di tempat ini dimasak hingga kering
sehingga crispy ketika digigit. Sedangkan tahu bacem yang
berukuran cukup besar dapat dinikmati sebagai cemilan bersama cabai
rawit. Selain itu juga terdapat hidangan lain seperti belut goreng
dengan dua variasinya. Pertama, belut goreng kering yang berukuran kecil
dan belut goreng basah yang lebih besar. Ada juga bakmi goreng dan
mangut belut bagi anda yang menggemari makanan pedas. Asap dari anglo
menambah sensasi rasa dari hidangan di warung ini.
Entah karena kenyang atau efek kembang turi, selesai
makan kepala saya terasa lebih cerdas dari biasanya. Sambil ngobrol
ringan dengan Mbah Warno dan asistennya, saya jadi paham kenapa pecel di
tempat ini dijuluki Pecel Baywatch. Hal itu karena Mbah Warno dan
asistennya selalu mengenakan sejenis baju yang disebut kaus kutang.
Pakaian yang sangat nyaman untuk dikenakan di tengah udara pedesaan
Kasongan Bantul yang kering dan panas.
SOTO SULUNG STASIUN TUGU
Siapa yang tidak tahu soto sulung? Soto khas Madura ini berisi
daging sapi atau jeroan sapi seperti babat, usus, paru-paru dan hati
dengan kuah yang pekat. Soto ini juga dipermanis dengan potongan telur
rebus yang membuat isiannya makin wah. Adalah Soto Sulung Stasiun
Tugu yang membawa keistimewaan soto sulung dari Madura ke Yogyakarta.
Warung soto yang didirikan sejak tahun 1968 oleh Bapak (alm.) Marjuddin,
kini sudah memiliki beberapa cabang yang tersebar di penjuru
Yogyakarta. Warung yang berlokasi di kios area parkir selatan Stasiun
Tugu kini menjadi salah satu ikon kuliner di Yogyakarta dan selalu
menjadi buruan bagi pecinta kuliner.
Soto Sulung Stasiun Tugu menawarkan soto daging dan
soto daging campur jeroan. Daging dan jeroan yang menjadi isian dari
soto ini berbeda dengan soto-soto di tempat lain. Dengan dua kali
pengolahan, dagingnya terasa empuk, tidak amis dan bumbu meresap
sempurna. Jeroan yang jadi isian di soto campur tidak berbau dan empuk,
kelezatannya sama dengan soto daging itu sendiri. Kuah sotonya yang
pekat dan bumbunya yang kuat terasa, membuat soto sulung ini begitu
lezat. Lidah kita akan dimanja dengan kuah hangatnya yang sangat
menggiurkan. Dengan perasan jeruk nipis dan sambal yang dibuat encer,
rasa dari soto ini akan lebih nikmat. Wuih.. nagih bener! Panas kuahnya dan keempukan dagingnya akan membuat lidah terus meminta tambah.
Yang unik dari soto sulung ini adalah nasinya. Bukannya
dihidangkan langsung di piring, nasi di sini dibungkus kecil-kecil
dengan harga Rp 500/bungkus. Kita dengan bebas bisa tambah nasi tanpa
perlu malu. Nasi dan segala cemilan di sini olahan sendiri loh.
Daging, nasi, dan krupuknya dibuat terlebih dahulu di malam hari oleh
masing-masing anggota keluarga yang bertugas, lalu paginya tinggal di
kirim ke Soto Sulung Stasiun Tugu dan cabang-cabang yang lain.
GUDEG
Mungkin bagi kebanyakan orang, gudeg adalah gudeg. Namun sebenarnya ada 3 jenis gudeg yang berbeda; gudeg basah, gudeg kering, dan gudeg manggar. Gudeg basah disajikan dengan kuah santan nyemek yang gurih dan banyak diburu untuk menu sarapan pagi. Gudeg jenis ini dapat ditemukan di sepanjang Jalan Kaliurang kawasan Barek, Gudeg Batas Kota (Jl. Adisucipto depan Saphir Square) atau mbok-mbok penjual gudeg di pasar-pasar tradisional.
Gudeg kering dimasak dalam waktu yang lebih lama hingga
kuahnya mengering dan warnanya lebih kecoklatan. Rasanya juga lebih
manis. Gudeg jenis ini bisa tahan hingga 24 jam atau bahkan lebih jika
dimasukkan ke dalam lemari es sehingga banyak diburu orang sebagai
oleh-oleh. Biasanya penjual mengemasnya dalam kardus, besek
(kardus dari anyaman bambu) atau kendil tanah liat. Tidak perlu bingung
kemana harus mencari karena sebagian besar warung gudeg seperti Gudeg
@Yu-Narni (+62 274 867231; Jl. Palagan Tentara Pelajar 102), Gudeg Yu
Djum (+62 274 515968; Jl. Kaliurang Km 4,5 Karang asem CT III/22), Gudeg
Bu Ahmad (+62 274 520049; Jl. Kaliurang km 4,5), Gudeg Gudeg Bu Tjitro 1925 1925 (+62 274 564734; Jl. Janti 330), dan penjual gudeg di daerah Wijilan menjual oleh-oleh istimewa ini.
Selain gudeg nangka muda, Jogja juga memiliki gudeg
manggar. Manggar alias bunga kelapa menghasilkan sensasi kelezatan
tersendiri pada sajian kuliner ini. Bunganya terasa crunchy
sementara tangkainya sekilas memiliki rasa mirip jamur tiram. Semakin
terbatasnya persediaan manggar menyebabkan kuliner ini semakin susah
ditemukan. Beberapa penjual terpaksa menutup warung dan hanya melayani
pemesanan saja. Hanya beberapa tempat yang masih bertahan seperti
beberapa kawasan di daerah Bantul dan Warung Makan Mbok Brewok (+62 274
445697; Jl. Parangtritis km.7).Sentra Gudeg Wijilan dan Barek
Gudeg dapat ditemukan di hampir setiap sudut kota Jogja. Namun kawasan Wijilan dan Barek lah yang paling kondang sebagai sentra gudeg. Wijilan berada tidak jauh dari kompleks Kraton Yogyakarta dan dapat dicapai dengan 10 menit berjalan kaki atau dengan naik becak. Diawali oleh Bu Slamet yang mulai berjualan sejak tahun 1946, kini sekitar 17 warung berderet memenuhi sisi Jl. Wijilan. Anda bisa memilih gudeg sesuai dengan selera. Gudeg Yu Djum (Jl. Wijilan 31) misalnya, menyajikan gudeg kering dengan rasa manis khas masakan Jogja. Kreceknya diiris kecil kemudian dimasak menjadi sambal goreng kering berwarna kekuningan. Jika menginginkan gudeg yang tidak terlalu manis, Anda bisa bertandang ke Gudeg Bu Slamet (+62 274 380429; Jl. Wijilan 17). Rata-rata warung gudeg di Wijilan buka dari jam 5.30 pagi hingga jam 8 malam, kecuali Gudeg Bu Tarto (Jl. Wijilan 15) yang buka 24 jam.Bila Anda kebetulan sedang berada di belahan utara Yogyakarta, cobalah datang ke Barek. Setiap subuh, penjual gudeg berderet di pinggir jalan di sebelah utara kawasan Kampus UGM. Ketika pagi mulai menjelang dan pedagang-pedagang ini mengemasi dagangannya, masih ada warung gudeg Bu Ahmad (+62 274 520049; Jl. Kaliurang km 4,5) yang kondang hingga kalangan artis dan pejabat, Yu Djum (+62 274 515968; Jl. Kaliurang Km 4,5 Karang asem CT III/22), Yu Narni (+62 274 589687; Jl. Kaliurang km 4,5 Karangasem CT III/19), atau Bu Tini yang buka hingga malam. Warung-warung ini juga memberikan kesempatan bagi Anda yang ingin melihat secara langsung proses memasak gudeg.
No comments:
Post a Comment